Sunday, September 1, 2013

Hipersemiotika dan Postmodernisme

Semiotika (semiotics) adalah salah satu dari ilmu yang oleh beberapa ahli/pemikir dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi, ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika, yang kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics). Umberto Eco yang menulis tentang teori semiotika ini mengatakan bahwa semiotika “…pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie).”[1] Definisi Eco cukup mencengangkan banyak orang, secara eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri. 
Dalam semiotika, bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda (sign), semata alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta; setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna tanda adalah para pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan. Umberto Eco menjelaskan bahwa bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kebenaran (truth): ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk “mengungkapkan” apa-apa. Dia berpikir definisi sebagai sebuah teori kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai program komprehensif untuk semiotika umum.[2] 
Hipersemiotika tidak sekadar teori kedustaan, melainkan teori yang berkaitan dengan relasi-relasi lainnya yang lebih kompleks antara tanda, makna dan realitas, khususnya relasi simulasi. Hipersemiotika yang berarti melampaui batas semiotika merupakan sebuah kecenderungan yang berkembang pada beberapa pemikir, khususnya pemikir semiotika yang berupaya melampaui batas oposisi biner (prinsip pertentangan  di antara dua istilah berseberangan dalam strukturalisme, yang satu dianggap lebih superior dari yang lainnya: maskulin/feminin. Barat/Timur, struktur perkembangan, fisika/meta-fisika, tanda/realitas dsb. Prinsip ini sangat sentral dalam pemikiran struktural mengenai semiotika, antara lain: perubahan dan transformasi, sifat imanensi, perbedaan, permainan bahasa, simulai, dan diskontinuitas.[3] 
Dengan demikian, dunia hipersemiotika tidak dapat dipisahkan dari dunia hiperealitas yang dilukiskan oleh Baudrillard, sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan benas tanda-tanda yang melampaui (hyper-sign), sebuah tanda yang melampaui prinsip, definisi, struktur, dan fungsinya sendiri. Prinsipnya hipersemiotika sama dengan poststrukturalisme, persamaan konsep kunci yang digunakan di dalamnya, namun berbeda pada penekanannya. Karena itu, dunia hiperealitas dapat dipandang sebagai dunia perekayasaan (dalam pengertian distorsi) realitas lewat hyper-sign, sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya. Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslia; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu. 

Postmodernisme (pasca modernisme) adalah gerakan kebudayaan yang menentang gerakan modernisme dan filsafat-filsafatnya serta kecenderungannya ke arah keaneka-ragaman, kelimpahan dan tumpang tindihnya berbagai citraan dan gaya yang satu-sama lain tidak saling berhubungan, sehingga menimbulkan fragmentasi, kontradiksi, pendangkalan makna kebudayaan dan sebagai gambaran dari fenomena budaya dalam ruang lingkup dan aspek yang lebih luas.[4] Postmodernisme sebagai suatu gerakan intelektual/kultural yang kontroversial dan merupakan campuran dari keberagaman aliran pemikiran, tradisi, dan masa lalu, yang didasari oleh keraguan akan kemampuan modernisme dalam mewujudkan janji-janjinya yaitu masyarakat ilmiah yang adil dan makmur berdasarkan sains telah menjadi suatu fenomena baru, yang kemunculannya, ibarat sebuah ledakan yang mengagumkan sekaligus membuat bingung dan cemas. 
Dalam hubungan hipersemiotika dan postmodernisme: Hipersemiotika merupakan sebuah kecenderungan yang melampaui semiotika konvensional (khususnya semiotika struktural), yang beroperasi dalam sebuah kebudayaan yang di dalamnya dusta, kepalsuan, kesemuan, kedangkalan, imanensi, permainan, artifisialitas, superlativitas dirayakan sebagai spirit utamanya; dan sebaliknya kebenaran, ontentisitas, kedalaman, transendensi, metafisika ditolak sebagai penghambat kreativitas dan produktivitas budaya. Sedangkan postmodernisme merupakan sebuah kecenderungan seni, sastra, arsitektur, media dan budaya pada umumnya, yang merupakan sebuah ruang tempat tumbuh subur serta membiaknya dengan tanpa batas dan pembatas berbagai bentuk hyper-sign di atas. Postmodernisme adalah sebuah ruang hidup bagi kecenderungan hipersemiotika, yang di dalamnya berbagai hyper-sign dikembangkan sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya komoditi dan budaya konsumerisme kapitalisme.[5] 
Budaya konsumerisme merupakan jantung dari kapitalisme, adalah sebuah budaya yang di dalamnya berbagai bentuk dusta, halusinasi, mimpi, kesemuan, artifisialitas, pendangkalan, kemasan wujud komoditi, melalaui strategi hipersemiotika dan imagologi, yang kemudian dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power) kapitalisme, sehingga pada akhirnya membentuk kesadaran diri (self-consciousness) yang sesungguhnya adalah palsu. Dan kekuatan hipersemiotika dan hyper-sign merupakan kekuatan utama dari apa yang disebut sebagai wacana postmodernisme, seperti dalam arsitektur, desain, sastra, media, iklan, fashion, musik, film dan berbagai produk kebudayaan lain yang sangat luas.[6] 
Zaman sekarang, kita tengah hidup di abad postmodern, yang walaupun penuh kontroversial, tetapi faktanya telah banyak mempengaruhi kehidupan gereja baik secara positif maupun negatif dengan ciri khas pemudaran kebenarannya. Terbukti dengan beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh beberapa teolog Kristen dan aliran gereja yang berbeda, bahwa sebagian besar mereka menerima postmodernisme secara positif walaupun dengan beberapa syarat atau ragu-ragu, namun sebagian lagi menerimanya secara negatif dengan menolak langsung. Postmodernisme yang berpijak di atas pikiran relativisme dan nihilisme, dan telah menjadikan hipersemiotika sebagai kekuatan utamanya, jelasakan akan membawa dampak negatif sebagai pemudaran kebenaran bagi kehidupan gereja-gereja di Indonesia . 
Oleh karena itu penting sekali bagi gereja dan orang percaya untuk menyikapi postmodernisme dan kekuatan hipersemiotikanya secara benar menurut prinsip firman Allah, sehingga orang percaya akan selalu berpegang pada dasar Alkitab sebagai firman Allah, hidup yang berpadanan dengan Injili Kristus dan kegiatannya aktif dalam memberitakan Injil Kerajaan Sorga. 
Daftar Pustaka :


[1] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta : Jalasutra, 2003, hlm. 43-44.
[2] Ibid., hlm. 44-45.
[3] Ibid., hlm. 46-58.
[4] Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism, (Terjemahan), Yogyakarta : Yayasan Andi, 2001, hlm. 37.
[5] Yasraf, Op. Cit., hlm. 59-60.
[6] Ibid.