Sunday, September 1, 2013

Hipersemiotika dan Postmodernisme

Semiotika (semiotics) adalah salah satu dari ilmu yang oleh beberapa ahli/pemikir dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi, ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika, yang kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics). Umberto Eco yang menulis tentang teori semiotika ini mengatakan bahwa semiotika “…pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie).”[1] Definisi Eco cukup mencengangkan banyak orang, secara eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri. 
Dalam semiotika, bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda (sign), semata alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta; setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna tanda adalah para pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan. Umberto Eco menjelaskan bahwa bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kebenaran (truth): ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk “mengungkapkan” apa-apa. Dia berpikir definisi sebagai sebuah teori kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai program komprehensif untuk semiotika umum.[2] 
Hipersemiotika tidak sekadar teori kedustaan, melainkan teori yang berkaitan dengan relasi-relasi lainnya yang lebih kompleks antara tanda, makna dan realitas, khususnya relasi simulasi. Hipersemiotika yang berarti melampaui batas semiotika merupakan sebuah kecenderungan yang berkembang pada beberapa pemikir, khususnya pemikir semiotika yang berupaya melampaui batas oposisi biner (prinsip pertentangan  di antara dua istilah berseberangan dalam strukturalisme, yang satu dianggap lebih superior dari yang lainnya: maskulin/feminin. Barat/Timur, struktur perkembangan, fisika/meta-fisika, tanda/realitas dsb. Prinsip ini sangat sentral dalam pemikiran struktural mengenai semiotika, antara lain: perubahan dan transformasi, sifat imanensi, perbedaan, permainan bahasa, simulai, dan diskontinuitas.[3] 
Dengan demikian, dunia hipersemiotika tidak dapat dipisahkan dari dunia hiperealitas yang dilukiskan oleh Baudrillard, sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan benas tanda-tanda yang melampaui (hyper-sign), sebuah tanda yang melampaui prinsip, definisi, struktur, dan fungsinya sendiri. Prinsipnya hipersemiotika sama dengan poststrukturalisme, persamaan konsep kunci yang digunakan di dalamnya, namun berbeda pada penekanannya. Karena itu, dunia hiperealitas dapat dipandang sebagai dunia perekayasaan (dalam pengertian distorsi) realitas lewat hyper-sign, sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya. Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslia; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu. 

Postmodernisme (pasca modernisme) adalah gerakan kebudayaan yang menentang gerakan modernisme dan filsafat-filsafatnya serta kecenderungannya ke arah keaneka-ragaman, kelimpahan dan tumpang tindihnya berbagai citraan dan gaya yang satu-sama lain tidak saling berhubungan, sehingga menimbulkan fragmentasi, kontradiksi, pendangkalan makna kebudayaan dan sebagai gambaran dari fenomena budaya dalam ruang lingkup dan aspek yang lebih luas.[4] Postmodernisme sebagai suatu gerakan intelektual/kultural yang kontroversial dan merupakan campuran dari keberagaman aliran pemikiran, tradisi, dan masa lalu, yang didasari oleh keraguan akan kemampuan modernisme dalam mewujudkan janji-janjinya yaitu masyarakat ilmiah yang adil dan makmur berdasarkan sains telah menjadi suatu fenomena baru, yang kemunculannya, ibarat sebuah ledakan yang mengagumkan sekaligus membuat bingung dan cemas. 
Dalam hubungan hipersemiotika dan postmodernisme: Hipersemiotika merupakan sebuah kecenderungan yang melampaui semiotika konvensional (khususnya semiotika struktural), yang beroperasi dalam sebuah kebudayaan yang di dalamnya dusta, kepalsuan, kesemuan, kedangkalan, imanensi, permainan, artifisialitas, superlativitas dirayakan sebagai spirit utamanya; dan sebaliknya kebenaran, ontentisitas, kedalaman, transendensi, metafisika ditolak sebagai penghambat kreativitas dan produktivitas budaya. Sedangkan postmodernisme merupakan sebuah kecenderungan seni, sastra, arsitektur, media dan budaya pada umumnya, yang merupakan sebuah ruang tempat tumbuh subur serta membiaknya dengan tanpa batas dan pembatas berbagai bentuk hyper-sign di atas. Postmodernisme adalah sebuah ruang hidup bagi kecenderungan hipersemiotika, yang di dalamnya berbagai hyper-sign dikembangkan sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya komoditi dan budaya konsumerisme kapitalisme.[5] 
Budaya konsumerisme merupakan jantung dari kapitalisme, adalah sebuah budaya yang di dalamnya berbagai bentuk dusta, halusinasi, mimpi, kesemuan, artifisialitas, pendangkalan, kemasan wujud komoditi, melalaui strategi hipersemiotika dan imagologi, yang kemudian dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power) kapitalisme, sehingga pada akhirnya membentuk kesadaran diri (self-consciousness) yang sesungguhnya adalah palsu. Dan kekuatan hipersemiotika dan hyper-sign merupakan kekuatan utama dari apa yang disebut sebagai wacana postmodernisme, seperti dalam arsitektur, desain, sastra, media, iklan, fashion, musik, film dan berbagai produk kebudayaan lain yang sangat luas.[6] 
Zaman sekarang, kita tengah hidup di abad postmodern, yang walaupun penuh kontroversial, tetapi faktanya telah banyak mempengaruhi kehidupan gereja baik secara positif maupun negatif dengan ciri khas pemudaran kebenarannya. Terbukti dengan beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh beberapa teolog Kristen dan aliran gereja yang berbeda, bahwa sebagian besar mereka menerima postmodernisme secara positif walaupun dengan beberapa syarat atau ragu-ragu, namun sebagian lagi menerimanya secara negatif dengan menolak langsung. Postmodernisme yang berpijak di atas pikiran relativisme dan nihilisme, dan telah menjadikan hipersemiotika sebagai kekuatan utamanya, jelasakan akan membawa dampak negatif sebagai pemudaran kebenaran bagi kehidupan gereja-gereja di Indonesia . 
Oleh karena itu penting sekali bagi gereja dan orang percaya untuk menyikapi postmodernisme dan kekuatan hipersemiotikanya secara benar menurut prinsip firman Allah, sehingga orang percaya akan selalu berpegang pada dasar Alkitab sebagai firman Allah, hidup yang berpadanan dengan Injili Kristus dan kegiatannya aktif dalam memberitakan Injil Kerajaan Sorga. 
Daftar Pustaka :


[1] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta : Jalasutra, 2003, hlm. 43-44.
[2] Ibid., hlm. 44-45.
[3] Ibid., hlm. 46-58.
[4] Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism, (Terjemahan), Yogyakarta : Yayasan Andi, 2001, hlm. 37.
[5] Yasraf, Op. Cit., hlm. 59-60.
[6] Ibid.

Pajak Menurut Teologi Kristen*


1.   PENDAHULUAN 

           Pajak merupakan sumber devisa negara yang paling vital, karena lebih dari 75% pembiayaan negara termasuk pembangunan berasal dari pajak melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
           Memang jika dilihat dari sisi ekonomi, penerimaan dari sektor pajak merupakan penerimaan negara yang paling potensial. Karena, melalui pajak pemerintah dapat membiayai sarana dan prasarana publik di seluruh sektor kehidupan, seperti sarana transportasi, air, listrik, pendidikan, kesehatan, keamanan, komunikasi, sosial, pertahanan dan berbagai fasilitas lainnya yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan dan pembangunan yang harus terus meningkat dalam rangka pembangunan masyarakat adil, makmur dan sejahtera, maka itu penerimaan pajak pun dituntut untuk terus meningkat.
            Namun, dari tahun ke tahun penerimaan pajak tidak pernah maksimal. Hal itu disebabkan adanya upaya dari wajib pajak untuk melakukan usaha menghindarkan diri dari pembayaran pajak, baik secara legal maupun illegal. Hal tersebut dapat dilihat pada data yang pernah dimuat oleh surat kabar Kompas, antara lain:
Sejak tahun 1995 sampai Maret 2000, total tunggakan pajak kumulatif yang masih tercatat di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Depkeu mencapai Rp 14 triyun. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat (Kompas, 1 April 2000).
Target Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2001 untuk meningkatkan penerimaan dari pajak dinilai akan sangat sulit dicapai. Hal itu disebabkan pertumbuhan ekonomi masih seret, padahal pertumbuhan adalah sumber dari penerimaan pajak (Kompas, 4 Oktober 2000).
Potensi kehilangan pajak yang terjadi selama kurun 2002-2004 akibat adanya aturan perundang-undangan perpajakan yang tumpang tindih dan minimnya akses Direktorat Pajak terhadap data-data kekayaan wajib pajak di Indonesia mencapai Rp 676,5 triliun.  Bahkan saat ini terdapat sekitar 40.000 warga negara Indonesia yang bertransaksi di pasar modal yang ada di Amerika Serikat dan tidak tersentuh oleh pungutan pajak di dalam negeri (Kompas, 13 Oktober 2004).
          Berdasarkan data-data di atas, menunjukkan bahwa harapan pemerintah Indonesia untuk segera mewujudkan masyarakat sadar dan peduli pajak, masih cukup panjang. Walaupun demikian, pemerintah akan terus berupaya bersama dengan elemen-elemen masyarakat lainnya untuk terus mewujudkan harapan tersebut.
          Masyarakat Kristiani Indonesia sebagai bagian dari wajib pajak, juga memiliki tanggung jawab yang sama dengan wajib pajak lainnya dalam pembayaran pajak. Ternyata tidak sedikit dari mereka yang menghindarkan diri dari pembayaran pajak. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: kurangnya informasi atau sosialisasi perpajakan di Indonesia , khususnya di kalangan umat Kristiani dan kurangnya peranan pemimpin-pemimpin gereja dalam memasyarakatkan pajak. Untuk itu sangat dibutuhkan landasan pemikiran dan keimanan Kristiani demi suksesnya pembayaran pajak tersebut.
           Karya tulis ini lebih lanjut akan memberikan informasi secara umum tentang perpajakan dan bagaimana pandangan Alkitab terhadapnya. Harapan yang diinginkan adalah semua masyarakat Kristiani Indonesia dapat memiliki pemahaman yang alkitabiah tentang pajak dan manfaatnya serta dapat menjadi masyarakat sadar dan peduli pajak. 

2.      PEMBAHASAN
2.1.   Pengertian Pajak

            Definisi atau pengertian pajak menurut R. Santoso Brotodiharjo, dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Pajak, berbunyi sebagai berikut:
Pajak adalah iuran wajib kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (1993:2).
Dari definisi tersebut di atas, dapat dilihat bahwa pajak memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.   Pembayaran iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak adalah pemerintah dari wajib pajak berupa uang.
2.   Dalam pemungutan pajak harus berdasarkan kekuatan peraturan atau undang-undang.
3.   Dapat dipaksa, yang hanya dapat dilakukan oleh pihak yang berwenang, yaitu pemerintah.
4.   Pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
5.   Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat luas (Boediono 1996:11-15).
             Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pajak adalah suatu kewajiban dari rakyat untuk menyerahkan sebagian dari harta kekayaannya ke kas negara, sesuai dengan keadaan dan kedudukan tertentu menurut peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, yang dapat dipaksakan, tanpa adanya jasa timbal balik dari pemerintah (kontraprestasi) dan digunakan untuk kesejahteraan umum. 

2.2.    Fungsi, Hambatan dan Syarat Pemungutan Pajak 

          Fungsi pajak terutama dilihat dari kepentingan negara yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 diberikan  hak  untuk  memungutnya,  ada 2 (dua) yaitu:
1. Fungsi budgetair, fungsi pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi mengatur (regulerend), fungsi pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah di bidang ekonomi, sosial dan budaya (1996:25). 
Kedua fungsi pajak tersebut di atas bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dan harus berjalan seimbang. Ketika salah satu fungsi diabaikan, maka akan terjadi persoalan, yaitu perlawanan-perlawanan dari wajib pajak. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Mardiasmo dalam buku “Perpajakan” tentang hambatan dalam pemungutan pajak yang dapat dikelompokkan menjadi:
1. Perlawanan pasif, masyarakat menjadi pasif membayar pajak disebabkan antara lain: perkembangan intelektual dan moral masyarakat, sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat, dan Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
2.  Perlawanan aktif, masyarakat secara aktif melawan melalui usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain: tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang dan tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar undang-undang, yaitu menggelapkan pajak (1997:9-10). 
Oleh karena itu, dalam pemungutan pajak ada syarat-syarat yang harus diperhatikan, agar tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1.  Syarat Keadilan, yaitu pemungutan pajak harus berdasarkan keadilan sesuai dengan tujuan hukum. Di antaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Bahkan memberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2. Syarat Yuridis, yaitu pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang. Hukum pajak harus dapat memberi jaminan hukum untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya.
3. Syarat Ekonomi, yaitu tidak mengganggu perekonomian. Pemungutan tidak boleh menghambat lancarnya produksi dan perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat dan jangan sampai merugikan kepentingan umum.
4. Syarat Finansial,  yaitu sesuai dengan fungsi budgeternya, biaya untuk pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pendapatannya (Mardiasmo 1997:2-3).
Jikalau keempat syarat tersebut di atas, diperhatikan dan dilaksanakan dengan baik, maka sedini mungkin pemerintah telah melakukan pencegahan yang sangat berarti bagi masalah-masalah yang dapat timbul dalam perpajakan. Dan sudah tentu keberhasilanlah yang akan dicapai.   

2.3.    Pengelompokan Pajak 

Pengelompokan pajak dapat dilihat dengan tinjauan dari segi:
1.  Menurut golongannya:
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain (1997:6). 
2.  Menurut Sifatnya:
a.  Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
b. Pajak obyektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan diri wajib pajak (1997:6) 
3.  Menurut lembaga pemungutnya
a.  Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
b.  Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah (1997:6-7).

Dengan memahami pengelompokan pajak ini, wajib pajak dapat lebih mengenal jenis-jenis pajak menurut golongannya, sifatnya, serta menurut lembaga pemungutnya. Sehingga akhirnya, wajib pajak lebih mengerti pajak yang sedang dijalaninya, dan dapat mengetahui persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pajak. 

2.4.     Pandangan Alkitab Tentang Pajak 

        Istilah “pajak” pertama kali disebutkan dalam Alkitab, di Keluaran 30:11-16, di mana setiap orang Israel yang telah berumur 20 tahun ke atas, haruslah membayar pajak pada setiap tahun sebesar setengah syikal, untuk persembahan khusus bagi Tuhan. Peraturan undang-undang ini dengan setia ditaati oleh banyak generasi (2 Taw. 24:6; Mat. 17:24).
Kemudian ketika bangsa Israel memintah perubahan dari sistem hakim-hakim menjadi kerajaan, yang dipimpin oleh seorang raja, nabi Samuel memperingatkan mereka (1 Sam. 8:10-18), untuk membayar pajak yang ditujukan bagi pemerintah (1 Raja 4:7; 9:15; 12:4).
          Pada zaman raja Daud dan Saul, pemungutan pajak didasarkan pada kesukarelaan orang-orang. Tetapi sejak raja Salomo yang mengeluarkan biaya besar untuk pengeluaran istana dan pembangunan yang megah itu, maka ia menuntut pajak secara teratur. Daerah kerajaan dibaginya menjadi 12 daerah. Setiap bulan daerah-daerah itu diwajibkan menyerahkan pajak (dalam bentuk bahan). Nanti setelah meninggalnya Salomo (1Raj. 12:3-4), barulah timbul keluhan yang menunjukkan bahwa sistem tersebut tidak biasa dilakukan. Hilangnya kebebasan politik di kemudian hari, akhirnya mengakibatkan adanya wajib upeti dan pajak yang teratur (Ezr. 4:13-20). Orang-orang Persia mengambil cukai pajak per kepala dan pajak tanah  (William Martin 1964:821).
        Di dalam Perjanjian Baru, pada periode Romawi,  pembayaran pajak dikumpulkan oleh pegawai-pegawai kerajaan sebagai bagian dari tugas rutin mereka. ( Rom. 13:1-7; 1 Pet. 2:13-14). Disebutkan bahwa pajak dipungut pada barang-barang dagangan dan orang asing (Mat. 17:25); pajak tahunan pada bangunan (Luk. 20:22; 23:2); pajak untuk mendapat hak memilih (Mat. 17:25; 22:17; Mrk. 12:14); dan pajak Bait Allah (uang upeti, 2 dirham = ½ syikal, Mat. 17:24-27 bnd. Kel. 30:13).
           Pada masa Yesus, pajak dikumpulkan di Yudea atas perintah kaisar Agustus. Itulah waktu pertama kali Yudea dikenakan pajak, yaitu pada waktu Kirenius menjadi wali negeri (Lukas 2:1-5). Perhitungan penduduk untuk membayar pajak, dilakukan pada tempat kelahiran suku dan keluarga masing-masing. Kemudian Kristus menunjukkan kepada orang Farisi dan orang Herodian tentang perlunya membayar pajak (Mat. 22:15-22; Mrk. 12:13-17), namun justeru Yesus difitnah melarang orang membayar pajak (Luk. 23:2). Dalam suratnya kepada jemaat di Roma (Roma 13:6-7), Paulus mengatakan agar semua orang kudus dinasihatkan supaya membayar pajak (Colin Brown, 1979:757-758). 

2.4.1.   Kewajiban Membayar Pajak 

           Tuhan Yesus sebagai Anak Manusia telah memberikan diri dan hidup-Nya sebagai teladan dan bagian hidup murid-murid-Nya. Karena Ia akan mengalami penderitaan sebagai manusia yang lemah, tak berdaya, dapat merasakan sakit, dan akan berhadapan dengan maut atau kematian (Matius 17:24-27). Bahkan Ia memberikan nyawa-Nya demi keselamatan umat manusia. Hanya Dialah Guru Agung sepanjang sejarah manusia. Sebagai orang Yahudi yang setia, Tuhan Yesus pun memberikan teladan dalam membayar pajak untuk Bait Allah. Kewajiban membayar pajak sudah ditetapkan sejak zaman Musa (Keluaran 30:13), untuk perbekalan rumah Tuhan. Analogi kewajiban orang asing membayar pajak bagi pemerintahan Roma dipakai Yesus untuk menunjukkan bahwa Anak Allah seharusnya tidak berkewajiban membayar pajak Bait Allah, demikian pula Petrus.
Namun Tuhan Yesus mengajarkan sekaligus memberikan teladan, bagaimana Ia pun tetap melakukan kewajiban ini. Setiap orang harus membayar dua (2) dirham perorang, tetapi mata uang yang beredar adalah empat (4) dirham, maka mereka harus membayar empat dirham untuk 2 orang. Kemudian Yesus menyuruh Petrus untuk memancing dan membuka mulut ikan yang pertama kali ditangkapnya, maka ia akan menemukan mata uang 4 dirham di dalam mulutnya. Dengan uang itulah Yesus dan Petrus membayar pajak.
Melalui sikap yang sederhana ini, Yesus menunjukkan keteladanan-Nya sebagai Guru Agung dan menyatakan keallahan-Nya sekaligus kerendahan hati-Nya, untuk memenuhi kewajiban keagamaan, yaitu dengan membayar pajak (Matius 17:27). 

2.4.2.      Kepatuhan kepada Pemerintah
            Di dalam Roma 13:1-7, dijelaskan dengan mendalam mengenai pemerintah dan sikap umat Kristen terhadapnya. Pemerintah itu berasal dari Allah, ditetapkan oleh Allah sebagai hamba Allah untuk kebaikan umat Tuhan. Pemerintah dipandang sebagai “pelayan-pelayan” Allah (Roma 13:6). Oleh sebab itu, orang Kristen dituntut untuk mematuhi pemerintah yang berkuasa, tidak melawan (Roma 13:1-2).  
            Sebelumnya Tuhan Yesus juga pernah mengatakan:”Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Matius 22:21). Hal ini tentu saja bukan berarti bahwa umat Kristen itu dilarang untuk bersikap kritis terhadap pemerintah. Ketaatan yang dituntut bukanlah ketaatan yang membabi buta. Praktek-praktek ketidakadilan, korupsi, penyimpangan pemungutan pajak, pelanggaran hak azasi manusia, tentulah sangat ditentang. Umat Kristen dituntut untuk memerangi ketidakadilan dan berbagai pelanggaran hukum oleh siapapun juga. Kekristenan juga dituntut untuk teguh dan tidak kompromi dalam hal-hal yang prinsipil. Banyak di antara para rasul yang harus masuk penjara, bahkan dibunuh oleh penguasa karena mereka lebih taat kepada Allah daripada manusia (Kisah Para Rasul 4:19).
            Namun demikian, umat Kristen tidak pernah dianjurkan untuk mengambil tindakan melalui jalan kekerasan, melainkan pertama yang harus dilakukan adalah berdoa meminta supaya Tuhan menegakkan kebenaran dan keadilan (Habakuk 1:2-4; Daniel 3:18).
Sikap yang taat dan hormat kepada pemerintah, tetapi juga kritis dan bertanggung jawab ini, tentunya merupakan faktor penting dalam pembangunan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Hal ini akan membantu pemerintah dalam mewujudkan masyarakat sadar dan peduli pajak.   

2.4.3.    Orang Kristen Wajib Membayar Pajak

            Melalui ayat-ayat firman Tuhan di atas, sangat jelas bahwa Allah menghendaki supaya umat Kristen juga berperan aktif dalam membayar pajak sebagaimana yang ditekankan oleh firman Tuhan. Sehingga tidak ada alasan untuk orang Kristen tidak membayar pajak. Ujian kesetiaan dan ketaatan kita kepada Tuhan harus dapat diwujudkan dalam ketaatan kita kepada pemerintah dengan taat membayar pajak.
            Kepatuhan ini ditunjukkan pula dalam bentuk kesetiaan umat Kristen untuk membayar pajak, sebagaimana tertulis dalam firman Tuhan: 
Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat (Roma 13:7).

3.      Kesimpulan dan Saran
3.1.    K
esimpulan 

          Pajak adalah suatu kewajiban yang harus dibayar kepada pemerintah berdasarkan peraturan atau undang-undang, oleh pribadi maupun kelompok, karena sudah merupakan ketetapan yang telah diperintahkan oleh Allah sendiri sejak zaman Musa (Keluaran 30:13).
Peraturan tersebut secara terus-menerus ditaati dengan setia oleh umat Tuhan, sampai pada masa Perjanjian Baru, di mana Yesus sendiri memberikan teladan dengan membayar pajak. Melalui sikap-Nya yang sederhana, Yesus menunjukkan keteladan-Nya sebagai Guru Agung dan menyatakan keallahan-Nya sekaligus kerendahan hati-Nya, untuk memenuhi kewajiban keagamaan, yaitu dengan membayar pajak (Matius 17:27). Karena itu, tidak ada alasan bagi umat Kristen untuk melanggar pajak, apalagi tidak membayar pajak. Sebab Allah sendiri yang telah menetapkan bagi umat-Nya suatu kewajiban untuk membayar pajak.
          Kesetiaan membayar pajak juga ditunjukkan dengan jalan kepatuhan umat Kristen kepada pemerintah. Dengan melihat bahwa pemerintah itu berasal dari Allah, ditetapkan oleh Allah sebagai hamba Allah untuk kebaikan umat Tuhan. Pemerintah dipandang sebagai “pelayan-pelayan” Allah (Roma 13:6). Sebab itu, orang Kristen dituntut untuk mematuhi pemerintah yang berkuasa, tidak melawan dalam bentuk pembayaran pajak (Roma 13:1-7).
          Melalui sikap yang taat dan hormat kepada pemerintah, tetapi juga kritis dan bertanggung jawab ini, tentunya merupakan faktor yang sangat penting dalam usaha pemerintah untuk mewujudkan harapan, masyarakat sadar dan peduli pajak, guna memenuhi kebutuhan pemerintahan dan pembangunan yang harus terus meningkat dalam rangka pembangunan masyarakat adil, makmur dan sejahtera, di mana penerimaan pajak pun dituntut untuk terus meningkat. 

3.2.Saran 

Berdasarkan informasi dan analisa data dari pembahasan di atas, maka dapatlah diberikan saran-saran sebagai berikut:
1.  Mengingat status umat Kristiani sebagai orang percaya, yang harus menjadi garam dan terang di tengah-tengah dunia ini, sudah tentu akan menjadi batu sandungan dan merusak kesaksian Kristen, apabila ada umat Kristiani yang melanggar pajak atau tidak membayar pajak.
2.  Sebagai orang percaya harus menjadi warga negara yang baik sesuai dengan prinsip firman Tuhan untuk hidup taat dan patuh kepada pemerintah dalam wujud pembayaran pajak.
3.  Perlunya peran serta para rohaniawan, pemimpin gereja untuk mengingatkan dan mendorong umat Tuhan melalui khotbah, ceramah, seminar, agar menjadi masyarakat Kristiani yang sadar dan peduli pajak.
4. Perlunya buku-buku atau literatur-literatur pajak dalam sorotan Kristen, untuk menambah informasi dan wawasan umat Kristiani secara benar tentang pajak.
 
Daftar   Pustaka:
 
Alkitab, 2002, Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia
Brown, Colin (ed.), 1979, The New International Dictionary of New Testament 
       Theology,  Vol. 3, Grand Rapids , Michigan : Zondervan Publishing House
Boediono, B., 1996, Perpajakan Indonesia, jilid I, Jakarta : Kawula Indonesia
Brotodiharjo, R. Santoso, 1993,  Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung : PT. Eresco
Mardiasmo, 1997,  Perpajakan,,  Yogyakarta : Yayasan Andi
Martin, William C., 1964, The Layman’s Bible Encyclopedia, Nashville , Tennessee : The
        Southwestern Company 

Surat Kabar: 

Kompas, 1 April 2000
Kompas, 4 Oktober 2000
Kompas, 13 Oktober 2004
*(Tulisan ini masuk sepuluh besar plihan terbaik lomba karya tulis ilmiah tentang Pajak menurut teologi Kristen, dan telah dibukukan bersama tulisan lainnya oleh Ditjen Pajak tahun 2004).

Kesetiaan Yang Terbatas

Apakah itu kesetiaan? Banyak orang dapat berbicara tentang kesetiaan, dan pada umumnya mereka mengatakan, ”Oh…saya setia, dan pasti saya akan tetap setia padamu.” Tetapi kesetiaan mereka hanyalah menurut perasaan dan pikiran masing-masing. Ada banyak orang yang rindu dan selalu ingin setia, namun apa mau dikata…keinginan tinggal keinginan, namun tidak pernah menjadi kenyataan. Bagaimana lagi dengan seorang murid? Seorang murid dapat dikatakan selalu ingin setia,…harus mentaati segala sesuatu yang dikatakan oleh sang guru, semuanya dibenarkan dan siap untuk ditaati dengan setia. Bahkan tidak sedikit dari para murid yang siap berkorban secara jiwa dan raga demi kesetiaannya pada gurunya. Namun, di dalam kenyataan sehari-hari, tidak sedikit orang yang gagal dalam kesetiaannya pada guru atau pemimpinnya.

Inilah kenyataan yang dialami oleh murid-murid Tuhan Yesus…..Dan hal ini jugalah yang menjadi satu pergumulan berat bagi orang-orang yang ada dekat di sekitar Yesus. Mulai dari murid-murid sampai pada orang banyak yang sudah lama mengikuti-Nya sebagai Tuhan, termasuk saudara dan saya. Firman Tuhan berkata: “Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan!”

Namun, bagaimana dengan realitas kehidupan kita tiap-tiap hari, dapatkah kita hidup setia seperti yang dikatakan oleh firman Tuhan? Hidup setia bagaimana yang dimaksudkan oleh firman-Nya? Dalam Matius 26:69-75, berisi suatu pengajaran yang penting tentang arti kesetiaan hidup sebagai seorang murid yang percaya.
Bagian firman Tuhan ini berbicara tentang penyangkalan seorang murid besar, yaitu Simon Petrus kepada Tuhan Yesus, gurunya. Dia telah hidup cukup lama bersama-sama dengan Yesus, mengikuti kemana pun Yesus pergi, bahkan siap mati untuk Yesus. Tetapi pada akhirnya, dia menyangkali Yesus, dengan alasan bahwa ia tidak mengenal Yesus sama sekali. Penyangkalan itu dikatakannya sampai tiga kali!

Namun, jika kita memperhatikan konteks secara keseluruhannya dalam Alkitab, maka kita akan dapat melihat urutan peristiwanya secara jelas. Jadi, setelah Yesus berdoa pada malam hari di Getsemani. Lalu Yudas Iskariot pengkhianat itu membawa para musuh yang besenjata lengkap untuk menangkap Yesus. Jika kita perhatikan dengan teliti maka ada beberapa kelompok manusia yang menyaksikan dan mengikuti Yesus sebelum Dia ditangkap, dan disalibkan, antara lain:
  • Orang Yahudi, ahli taurat (Hanas & Kayafas: imam besar), dan orang Farisi: mereka adalah orang-orang yang tahu kebenaran dan firman Tuhan, tetapi mereka tidak percaya, bahkan memutarbalikkan semuanya.
  • Orang kafir : Pilatus, Herodes; mereka diberi kesempatan juga untuk mengenal Tuhan, tetapi mereka sendiri tidak mau.
  • Orang banyak : mereka mengikuti Yesus dengan motivasi yang tidak benar, mereka banyak yang meninggalkan Yesus ketika ada kesulitan hidup atau penderitaan langsung, mereka lari meninggalkan Tuhan.
  • Yudas & Petrus, murid Yesus : orang yang dekat dengan Tuhan, tiap-tiap hari bersama dengan Tuhan, tetapi juga menyangkal Tuhan.
Bagaimana dengan kesetiaan kita kepada Tuhan? Di depan orang kita bermulut manis, di depan hamba Tuhan kita kelihatan rohani; tetapi saya mau katakan kita harus senantiasa mengoreksi kesetiaan kita kepada Tuhan, apakah kita tetap dalam garis kesetiaan-Nya ataukah kita sudah jauh dari hidup dalam kesetiaan! Kita jangan bermain-main dengan Tuhan, para pendahulu kita yang lebih rohani pun (tokoh Kristen/teolog, hamba Tuhan/pendeta, pelayan Tuhan/majelis/pengurus gereja), bisa gagal, demikian juga dengan kita mempunyai potensi yang sama untuk bisa gagal. Banyak orang yang senang bersandiwara, pada saat memuji dan menyembah Tuhan begitu sungguh-sungguh, bahkan pada saat perjamuan kudus, menangis ingat karya Tuhan Yesus, pada saat ibadah penuh dengan hadirat Tuhan. Tetapi setelah semuanya selesai, semua juga selesai berlalu begitu saja! Anugerah Tuhan menjadi murahan: kita berbuat dosa, dan minta ampun, kemudian buat dosa lagi minta ampun lagi. Kalau demikian cara hidup kita, tidak ada bedanya dengan bangsa Israel yang selalu berontak melawan Allah ketika keluar dari tanah perbudakan menuju Tanah Perjanjian. Kita menjadi keras kepala, penuh persungutan, dan ketidakpuasan dalam hidup kita. Untuk itu firman Tuhan menasihatkan kita dalam Galatia 6:7, “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diriNya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.” Berhati-hatilah, mungkin kita tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh hamba Tuhan, karena masih muda, atau pun karena pernah gagal, bahkan mungkin sebaliknya, kita malah menceritakan keburukannya di belakangnya, sehingga kita jatuh dalam dosa!

Kesetiaan kita terbatas, kita tidak bisa hanya dengan bibir mulut kita saja mengatakan, “setia, setialah, setia sampai mati,” tanpa menjalankan kesetiaan itu dalam kehidupan kita setiap saat. Sebab arti kesetiaan tidak dapat dipisahkan dengan kata “percaya,” dan percaya juga artinya kita taat tiap-tiap hari pada firman-Nya. Kalau kita memang benar-benar sungguh-sungguh mengikut Tuhan, itu pasti jelas akan kelihatan dan buahnya juga pasti akan nampak kepada orang lain. Sebab yang menilai diri kita, bukan hanya diri kita sendiri tetapi orang lain dan yang paling penting adalah Allah sendiri yang menilai kita dalam hidup keseharian kita. Tuhan mau kita hidup setia. Setia pada firmanNya, mengandalkan Dia, dan selalu siap untuk dikoreksi melalui firman Tuhan. Marilah kita terus setia tiap-tiap hari dalam kehidupan kita sampai Kristus Datang Ke-2x dan mengatakan kepada kita masing-masing: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba yang baik; engkau telah setia dalam perkara kecil, karena itu terimalah kekuasaan atas sepuluh kota” (Lukas 19:17) Tuhan Yesus memberkati!

Bukti Visi Yang benar


Di dalam setiap lembaga/yayasan pendidikan atau organisasi sosial dan keagamaan ... tentulah mempunyai suatu visi. Oleh karena visi memegang peranan yang sangat penting dalam mewujudkan satu cita-cita atau harapan, baik itu secara perorangan maupun secara kelompok. Dalam pelayanan gereja dan kekristenan pada umumnya, visi juga tidak kalah pentingnya, bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya suatu pelayanan. 

Jika demikian apakah sebenarnya visi itu? Sebab banyak orang berbicara tentang visi, tetapi belum mengerti sama sekali apa arti visi itu sebenarnya. Karena itu kita perlu mengerti dengan baik apa sebenarnya visi itu dan mengapa orang Kristen perlu memiliki visi, baik secara pribadi maupun persekutuan besar.

Kata visi atau vision memang mempunyai beberapa arti (penglihatan/daya lihat, pandangan, impian/bayangan). Namun yang kita bahas di sini adalah arti yang berhubungan dengan kehidupan Kristen. 

Visi ialah gagasan atau impian yang jelas, yang timbul dari beban atau keyakinan yang Allah berikan kepada seseorang, yang menggerakkan dan memotivasi orang itu untuk bertindak dan bekerja keras untuk mewujudkan impian tersebut, meskipun mungkin dia harus menghadapi banyak tantangan berat.

Dengan demikian seseorang yang mempunyai visi akan berusaha mengarahkan setiap segi kehidupannya untuk mencapai visinya. Alkitab menyatakan bahwa "Bila tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat." Amsal 29:18. Dan orang pertama yang menjadi liar adalah saudara dan saya, disebabkan oleh kebosanan dalam rutinitas kehidupan Kristen kita. Menerima visi adalah lebih daripada sekedar menerima suatu gambaran dalam ibadah penyembahan yang kusyuk. Visi itu adalah suatu kesadaran yang mendalam dalam hati kita tentang mengapa kita dilahirkan, dan untuk apa kita lahir. Itu berarti kita harus berusaha mengarahkan seluruh segi kehidupan kita untuk hidup sesuai dengan firman Tuhan, agar kita dapat sampai pada kedewasaan penuh yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.

Dalam kehidupan dan pelayanan gereja, masalah visi tidak boleh dicampuradukan dengan kepentingan kita, baik secara pribadi atau pun kelompok. Dan mungkin juga kita sulit menilai visi-visi mana yang paling baik, karena semua pada umumnya juga memakai ayat-ayat firman Tuhan yang alkitabiah. Namun jika ada orang yang membanggakan diri dengan visinya yang bagus, namun jika buktinya tidak sesuai dengan firman Tuhan, sudah tentu tidak ada artinya sama sekali. Oleh karena itu yang betapa pentingnya bagi kita adalah kembali kepada bukti firman Tuhan itu sendiri. Sedikitnya ada tiga bukti yang menandakan hidup kita berjalan dalam visi firman Tuhan !

I. Hidup Yang Berbelas Kasihan

Firman Tuhan di dalam Matius 9:36:”Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan.” Dan Lukas 10:33,” lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan!”

Inilah hati Yesus, hati yang penuh belas kasihan…hati seorang Samaria yang murah hati. Seluruh hidup dan pelayanan Yesus diwarnai dengan kasih. Kasih itulah yang menjadi dasar visi Tuhan Yesus di dunia ini (Yoh 3:16). Visi Tuhan Yesus ialah melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaanNya (Yoh 4:34). Betapapun hebat dan indahnya visi orang Kristen, tetapi jikalau tidak mempunyai hati yang berbelas kasihan kepada orang lain, sama sekali tidak artinya.

Paulus kepada jemaat di Korintus mengatakan: ”Sekalipun aku mempunyai karunia…, seluruh pengetahuan…, dan iman yang sempurna, tetapi jikalau aku tidak mempunyai kasih; aku sama sekali tidak berguna” (I Kor 13:2). Dan kita tidak mungkin mau berkorban bagi orang lain; atau berkorban bagi pekerjaan Tuhan jika kita tidak mempunyai hati yang berbelas kasihan atau hati yang penuh kasih.

II. Hidup Memberi Buah 

Di dalam Filipi 1:22 berbunyi: ”Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah”. Inilah tugas orang percaya yang harus kita pikul selama hidup di dunia ini. Bila kita sudah menjadi orang Kristen bertahun-tahun tetapi tidak menghasilkan buah, hal ini sangat mengesalkan hati Allah, Allah menunggu kita berbuah. Kita harus memperhatikan pertumbuhan kerohanian kita. Kita sudah banyak memperoleh pengajaran-pengajaran yang luar biasa dan dalam, serta kuasa dan pengurapan Roh Kudus, yang sangat memungkinkan kita untuk berbuah lebat.

Kita jangan puas hanya menjadi pendengar saja, sebagai kolektor khotbah yang bagus-bagus dan menerima pengurapan sampai kita terguncang-guncang dan rebah dalam hadirat Allah, kemudian berhenti hanya sampai disitu saja. Hal itu sebagai modal untuk menghasilkan buah dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar. Kita harus berbuah lebat dan setiap hari buah itu bertambah banyak, sebab orang Kristen dikenal bukan karena banyaknya karunia yang dimilikinya, tetapi karena buahnya (Matius 7:20).


III. Hidup Melayani Tuhan 

Pada masa sekarang menjelang akhir jaman, banyak hal terjadi yang dapat membuat kita takut dan goyah. Oleh sebab itu kita harus tetap teguh dan tidak goyah, giat selalu dalam pekerjaan Tuhan. Hal ini harus kita lakukan, karena sudah tidak banyak waktu lagi. Kita jangan sibuk dengan diri kita sendiri saja, tetapi harus mulai melayani Tuhan. Kita merasa siap/tidak siap yang penting kita mau menyediakan diri kita untuk dipakai Tuhan, Roh Kudus yang ada di dalam kita yang akan memampukan kita untuk melakukannya. Apapun yang terjadi, jangan sampai kita menjadi takut, apalagi undur dalam kerohanian kita. Roh kita justru harus lebih menyala-nyala, karena jerih payah kita tidak akan sia-sia. Kita harus mengobarkan karunia Roh Kudus yang ada pada kita supaya makin melimpah-limpah dengan menunjukkan kasih kita kepada dunia, bahwa Allah kita besar dan hidup,

Dia mampu melakukan segala perkara. Allah sudah menjamin dan memberkati hidup kita supaya dapat menjadi berkat bagi orang lain. Ada sebuah syair lagu yang diciptakan oleh seorang hamba Tuhan, di mana syair itu mengatakan :

"Tiada lebih indah kumelayani Yesus
Walaupun sukar dan berat jalanku
Takkan aku mundur sebelum berakhir hidupku
Karena aku tahu apa arti hidupku..."

Dengan kita hidup terus melayani Tuhan, maka orang akan melihat hal itu sebagai bukti bahwa kita terus berjalan dalam visi firman Tuhan.

Sekarang, bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah benar-benar memiliki hati yang berbelas kasihan kepada orang lain? Apakah kita sudah benar-benar hidup memberi buah bagi Tuhan? Apakah kita sudah benar-benar terlibat di dalam pelayanan? Saudara inilah bukti-bukti penting bagi kita, dan marilah kita terus berjuang dan mempertahankannya, sebagai kebenaran nyata bahwa kita tetap berjalan terus dalam visi firman-Nya. Visi itu menjadi berarti apabila ada tugas atau amanat yang harus dijalankannya. Marilah kita menjalankan seluruh tugas/amanat dan kehendak-Nya di dalam kehidupan kita masing-masing, sehingga banyak orang memperoleh berkat dan keselamatan daripada Tuhan.

Ada satu kutipan yang berkata: “A vision without a task makes a visionary; A task without a vision is drudgery; A vision with a task makes a missionary.

Tuhan Yesus memberkati, Amin.