Semiotika (semiotics)
adalah salah satu dari ilmu yang oleh beberapa ahli/pemikir dikaitkan dengan
kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi, ada asumsi terhadap
teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang dijadikan
sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika, yang kemudian
disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics). Umberto Eco yang menulis
tentang teori semiotika ini mengatakan bahwa semiotika “…pada prinsipnya adalah
sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
berdusta (lie).”[1] Definisi Eco cukup mencengangkan banyak orang, secara
eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika,
sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri.
Dalam semiotika, bila
segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda (sign),
semata alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan selalu mengandung muatan
dusta; setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna tanda adalah para
pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan. Umberto
Eco menjelaskan bahwa bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan
dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan
kebenaran (truth): ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk
“mengungkapkan” apa-apa. Dia berpikir definisi sebagai sebuah teori kedustaan
sudah sepantasnya diterima sebagai program komprehensif untuk semiotika
umum.[2]
Hipersemiotika tidak
sekadar teori kedustaan, melainkan teori yang berkaitan dengan relasi-relasi
lainnya yang lebih kompleks antara tanda, makna dan realitas, khususnya relasi
simulasi. Hipersemiotika yang berarti melampaui batas semiotika merupakan
sebuah kecenderungan yang berkembang pada beberapa pemikir, khususnya pemikir
semiotika yang berupaya melampaui batas oposisi biner (prinsip
pertentangan di antara dua istilah berseberangan dalam strukturalisme,
yang satu dianggap lebih superior dari yang lainnya: maskulin/feminin.
Barat/Timur, struktur perkembangan, fisika/meta-fisika, tanda/realitas dsb.
Prinsip ini sangat sentral dalam pemikiran struktural mengenai semiotika,
antara lain: perubahan dan transformasi, sifat imanensi, perbedaan, permainan
bahasa, simulai, dan diskontinuitas.[3]
Dengan demikian, dunia
hipersemiotika tidak dapat dipisahkan dari dunia hiperealitas yang dilukiskan
oleh Baudrillard, sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa
dilepaskan dari produksi dan permainan benas tanda-tanda yang melampaui
(hyper-sign), sebuah tanda yang melampaui prinsip, definisi, struktur, dan
fungsinya sendiri. Prinsipnya hipersemiotika sama dengan poststrukturalisme,
persamaan konsep kunci yang digunakan di dalamnya, namun berbeda pada
penekanannya. Karena itu, dunia hiperealitas dapat dipandang sebagai dunia
perekayasaan (dalam pengertian distorsi) realitas lewat hyper-sign,
sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang
direpresentasikannya. Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya
kepalsuan berbaur dengan keaslia; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang
siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan
kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas
seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu.
Postmodernisme (pasca modernisme) adalah gerakan kebudayaan yang menentang gerakan modernisme dan filsafat-filsafatnya serta kecenderungannya ke arah keaneka-ragaman, kelimpahan dan tumpang tindihnya berbagai citraan dan gaya yang satu-sama lain tidak saling berhubungan, sehingga menimbulkan fragmentasi, kontradiksi, pendangkalan makna kebudayaan dan sebagai gambaran dari fenomena budaya dalam ruang lingkup dan aspek yang lebih luas.[4] Postmodernisme sebagai suatu gerakan intelektual/kultural yang kontroversial dan merupakan campuran dari keberagaman aliran pemikiran, tradisi, dan masa lalu, yang didasari oleh keraguan akan kemampuan modernisme dalam mewujudkan janji-janjinya yaitu masyarakat ilmiah yang adil dan makmur berdasarkan sains telah menjadi suatu fenomena baru, yang kemunculannya, ibarat sebuah ledakan yang mengagumkan sekaligus membuat bingung dan cemas.
Dalam
hubungan hipersemiotika dan postmodernisme: Hipersemiotika merupakan sebuah
kecenderungan yang melampaui semiotika konvensional (khususnya semiotika
struktural), yang beroperasi dalam sebuah kebudayaan yang di dalamnya dusta,
kepalsuan, kesemuan, kedangkalan, imanensi, permainan, artifisialitas,
superlativitas dirayakan sebagai spirit utamanya; dan sebaliknya kebenaran,
ontentisitas, kedalaman, transendensi, metafisika ditolak sebagai penghambat
kreativitas dan produktivitas budaya. Sedangkan postmodernisme merupakan sebuah
kecenderungan seni, sastra, arsitektur, media dan budaya pada umumnya, yang
merupakan sebuah ruang tempat tumbuh subur serta membiaknya dengan tanpa batas
dan pembatas berbagai bentuk hyper-sign di atas. Postmodernisme adalah
sebuah ruang hidup bagi kecenderungan hipersemiotika, yang di dalamnya berbagai
hyper-sign dikembangkan sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya komoditi dan
budaya konsumerisme kapitalisme.[5]
Budaya konsumerisme
merupakan jantung dari kapitalisme, adalah sebuah budaya yang di dalamnya
berbagai bentuk dusta, halusinasi, mimpi, kesemuan, artifisialitas,
pendangkalan, kemasan wujud komoditi, melalaui strategi hipersemiotika dan
imagologi, yang kemudian dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi
(iklan, show, media dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power)
kapitalisme, sehingga pada akhirnya membentuk kesadaran diri
(self-consciousness) yang sesungguhnya adalah palsu. Dan kekuatan
hipersemiotika dan hyper-sign merupakan kekuatan utama dari apa yang
disebut sebagai wacana postmodernisme, seperti dalam arsitektur, desain,
sastra, media, iklan, fashion, musik, film dan berbagai produk kebudayaan lain
yang sangat luas.[6]
Zaman
sekarang, kita tengah hidup di abad postmodern, yang walaupun penuh
kontroversial, tetapi faktanya telah banyak mempengaruhi kehidupan gereja baik
secara positif maupun negatif dengan ciri khas pemudaran kebenarannya. Terbukti
dengan beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh beberapa teolog Kristen dan
aliran gereja yang berbeda, bahwa sebagian besar mereka menerima postmodernisme
secara positif walaupun dengan beberapa syarat atau ragu-ragu, namun sebagian
lagi menerimanya secara negatif dengan menolak langsung. Postmodernisme yang
berpijak di atas pikiran relativisme dan nihilisme, dan telah menjadikan
hipersemiotika sebagai kekuatan utamanya, jelasakan akan membawa dampak negatif
sebagai pemudaran kebenaran bagi kehidupan gereja-gereja di Indonesia .
Oleh
karena itu penting sekali bagi gereja dan orang percaya untuk menyikapi postmodernisme
dan kekuatan hipersemiotikanya secara benar menurut prinsip firman Allah,
sehingga orang percaya akan selalu berpegang pada dasar Alkitab sebagai firman
Allah, hidup yang berpadanan dengan Injili Kristus dan kegiatannya aktif dalam
memberitakan Injil Kerajaan Sorga.
Daftar Pustaka :
[1] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika
Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta : Jalasutra, 2003,
hlm. 43-44.
[2] Ibid., hlm. 44-45.
[3] Ibid., hlm. 46-58.
[4] Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism, (Terjemahan), Yogyakarta : Yayasan Andi, 2001, hlm. 37.
[5] Yasraf, Op. Cit., hlm. 59-60.
[6] Ibid.
[2] Ibid., hlm. 44-45.
[3] Ibid., hlm. 46-58.
[4] Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism, (Terjemahan), Yogyakarta : Yayasan Andi, 2001, hlm. 37.
[5] Yasraf, Op. Cit., hlm. 59-60.
[6] Ibid.
No comments:
Post a Comment