1. PENDAHULUAN
Pajak merupakan sumber devisa negara yang paling vital, karena lebih dari 75%
pembiayaan negara termasuk pembangunan berasal dari pajak melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Memang jika dilihat dari sisi ekonomi, penerimaan dari sektor pajak merupakan
penerimaan negara yang paling potensial. Karena, melalui pajak pemerintah dapat
membiayai sarana dan prasarana publik di seluruh sektor kehidupan, seperti
sarana transportasi, air, listrik, pendidikan, kesehatan, keamanan, komunikasi,
sosial, pertahanan dan berbagai fasilitas lainnya yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan pemerintahan dan pembangunan yang harus terus meningkat dalam rangka
pembangunan masyarakat adil, makmur dan sejahtera, maka itu penerimaan pajak
pun dituntut untuk terus meningkat.
Namun, dari tahun ke tahun penerimaan pajak tidak pernah maksimal. Hal itu
disebabkan adanya upaya dari wajib pajak untuk melakukan usaha menghindarkan
diri dari pembayaran pajak, baik secara legal maupun illegal. Hal tersebut
dapat dilihat pada data yang pernah dimuat oleh surat kabar Kompas, antara
lain:
Sejak tahun 1995
sampai Maret 2000, total tunggakan pajak kumulatif yang masih tercatat di
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Depkeu mencapai Rp 14 triyun. Jumlah ini
diperkirakan akan terus meningkat (Kompas, 1 April 2000).
Target Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2001 untuk meningkatkan
penerimaan dari pajak dinilai akan sangat sulit dicapai. Hal itu disebabkan
pertumbuhan ekonomi masih seret, padahal pertumbuhan adalah sumber dari
penerimaan pajak (Kompas, 4 Oktober 2000).
Potensi
kehilangan pajak yang terjadi selama kurun 2002-2004 akibat adanya aturan
perundang-undangan perpajakan yang tumpang tindih dan minimnya akses Direktorat
Pajak terhadap data-data kekayaan wajib pajak di Indonesia mencapai Rp 676,5
triliun. Bahkan saat ini terdapat sekitar 40.000 warga negara Indonesia
yang bertransaksi di pasar modal yang ada di Amerika Serikat dan tidak
tersentuh oleh pungutan pajak di dalam negeri (Kompas, 13 Oktober 2004).
Berdasarkan data-data di atas, menunjukkan bahwa harapan pemerintah Indonesia
untuk segera mewujudkan masyarakat sadar dan peduli pajak, masih cukup panjang.
Walaupun demikian, pemerintah akan terus berupaya bersama dengan elemen-elemen
masyarakat lainnya untuk terus mewujudkan harapan tersebut.
Masyarakat Kristiani Indonesia sebagai bagian dari wajib pajak, juga memiliki
tanggung jawab yang sama dengan wajib pajak lainnya dalam pembayaran pajak.
Ternyata tidak sedikit dari mereka yang menghindarkan diri dari pembayaran
pajak. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: kurangnya
informasi atau sosialisasi perpajakan di Indonesia , khususnya di kalangan umat
Kristiani dan kurangnya peranan pemimpin-pemimpin gereja dalam memasyarakatkan
pajak. Untuk itu sangat dibutuhkan landasan pemikiran dan keimanan Kristiani
demi suksesnya pembayaran pajak tersebut.
Karya tulis ini lebih lanjut akan memberikan informasi secara umum tentang
perpajakan dan bagaimana pandangan Alkitab terhadapnya. Harapan yang diinginkan
adalah semua masyarakat Kristiani Indonesia dapat memiliki pemahaman yang
alkitabiah tentang pajak dan manfaatnya serta dapat menjadi masyarakat sadar
dan peduli pajak.
2.
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Pajak
2.1. Pengertian Pajak
Definisi atau pengertian pajak menurut R. Santoso Brotodiharjo, dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Pajak, berbunyi sebagai berikut:
Pajak adalah
iuran wajib kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan
tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (1993:2).
Dari definisi
tersebut di atas, dapat dilihat bahwa pajak memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Pembayaran iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak adalah
pemerintah dari wajib pajak berupa uang.
2.
Dalam pemungutan pajak harus berdasarkan kekuatan peraturan atau undang-undang.
3.
Dapat dipaksa, yang hanya dapat dilakukan oleh pihak yang berwenang, yaitu
pemerintah.
4.
Pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh
pemerintah.
5.
Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara yang bermanfaat
bagi kepentingan masyarakat luas (Boediono 1996:11-15).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pajak adalah suatu kewajiban dari
rakyat untuk menyerahkan sebagian dari harta kekayaannya ke kas negara, sesuai
dengan keadaan dan kedudukan tertentu menurut peraturan yang ditetapkan oleh
pemerintah, yang dapat dipaksakan, tanpa adanya jasa timbal balik dari
pemerintah (kontraprestasi) dan digunakan untuk kesejahteraan umum.
2.2. Fungsi, Hambatan dan Syarat
Pemungutan Pajak
Fungsi pajak terutama dilihat dari kepentingan negara yang oleh Undang-Undang
Dasar 1945 diberikan hak untuk memungutnya, ada 2 (dua)
yaitu:
1. Fungsi budgetair, fungsi pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi mengatur (regulerend), fungsi pajak sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijaksanaan pemerintah di bidang ekonomi, sosial dan budaya
(1996:25).
Kedua fungsi
pajak tersebut di atas bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan
dan harus berjalan seimbang. Ketika salah satu fungsi diabaikan, maka akan
terjadi persoalan, yaitu perlawanan-perlawanan dari wajib pajak. Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Mardiasmo dalam buku “Perpajakan” tentang hambatan dalam
pemungutan pajak yang dapat dikelompokkan menjadi:
1. Perlawanan pasif, masyarakat menjadi pasif membayar pajak disebabkan antara
lain: perkembangan intelektual dan moral masyarakat, sistem perpajakan yang
(mungkin) sulit dipahami masyarakat, dan Sistem kontrol tidak dapat dilakukan
atau dilaksanakan dengan baik.
2. Perlawanan aktif, masyarakat secara aktif melawan melalui usaha dan perbuatan
yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah dengan tujuan untuk
menghindari pajak. Bentuknya antara lain: tax avoidance, usaha
meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang dan tax evasion,
usaha meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar undang-undang, yaitu
menggelapkan pajak (1997:9-10).
Oleh karena itu,
dalam pemungutan pajak ada syarat-syarat yang harus diperhatikan, agar tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Syarat Keadilan, yaitu pemungutan pajak harus berdasarkan keadilan sesuai
dengan tujuan hukum. Di antaranya mengenakan pajak secara umum dan merata,
serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Bahkan memberikan hak kepada
wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan
mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2. Syarat Yuridis, yaitu pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang. Hukum
pajak harus dapat memberi jaminan hukum untuk menyatakan keadilan yang tegas,
baik untuk negara maupun untuk warganya.
3. Syarat Ekonomi, yaitu tidak mengganggu perekonomian. Pemungutan tidak boleh
menghambat lancarnya produksi dan perdagangan, sehingga tidak menimbulkan
kelesuan perekonomian masyarakat dan jangan sampai merugikan kepentingan umum.
4. Syarat Finansial, yaitu sesuai dengan fungsi budgeternya, biaya
untuk pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil
pendapatannya (Mardiasmo 1997:2-3).
Jikalau keempat
syarat tersebut di atas, diperhatikan dan dilaksanakan dengan baik, maka sedini
mungkin pemerintah telah melakukan pencegahan yang sangat berarti bagi
masalah-masalah yang dapat timbul dalam perpajakan. Dan sudah tentu
keberhasilanlah yang akan dicapai.
2.3. Pengelompokan Pajak
Pengelompokan
pajak dapat dilihat dengan tinjauan dari segi:
1. Menurut golongannya:
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan
tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain (1997:6).
2. Menurut Sifatnya:
a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal pada subjeknya, dalam arti
memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
b. Pajak obyektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan
diri wajib pajak (1997:6)
3. Menurut lembaga pemungutnya
a. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara.
b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga daerah (1997:6-7).
Dengan memahami pengelompokan pajak ini, wajib pajak dapat lebih mengenal jenis-jenis pajak menurut golongannya, sifatnya, serta menurut lembaga pemungutnya. Sehingga akhirnya, wajib pajak lebih mengerti pajak yang sedang dijalaninya, dan dapat mengetahui persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pajak.
2.4. Pandangan Alkitab Tentang
Pajak
Istilah “pajak” pertama kali disebutkan dalam Alkitab, di Keluaran 30:11-16, di
mana setiap orang Israel yang telah berumur 20 tahun ke atas, haruslah membayar
pajak pada setiap tahun sebesar setengah syikal, untuk persembahan khusus bagi
Tuhan. Peraturan undang-undang ini dengan setia ditaati oleh banyak generasi (2
Taw. 24:6; Mat. 17:24).
Kemudian ketika
bangsa Israel memintah perubahan dari sistem hakim-hakim menjadi kerajaan, yang
dipimpin oleh seorang raja, nabi Samuel memperingatkan mereka (1 Sam. 8:10-18),
untuk membayar pajak yang ditujukan bagi pemerintah (1 Raja 4:7; 9:15; 12:4).
Pada zaman raja Daud dan Saul, pemungutan pajak didasarkan pada kesukarelaan
orang-orang. Tetapi sejak raja Salomo yang mengeluarkan biaya besar untuk
pengeluaran istana dan pembangunan yang megah itu, maka ia menuntut pajak
secara teratur. Daerah kerajaan dibaginya menjadi 12 daerah. Setiap bulan
daerah-daerah itu diwajibkan menyerahkan pajak (dalam bentuk bahan). Nanti
setelah meninggalnya Salomo (1Raj. 12:3-4), barulah timbul keluhan yang
menunjukkan bahwa sistem tersebut tidak biasa dilakukan. Hilangnya kebebasan
politik di kemudian hari, akhirnya mengakibatkan adanya wajib upeti dan pajak
yang teratur (Ezr. 4:13-20). Orang-orang Persia mengambil cukai pajak per
kepala dan pajak tanah (William Martin 1964:821).
Di dalam Perjanjian Baru, pada periode Romawi, pembayaran pajak
dikumpulkan oleh pegawai-pegawai kerajaan sebagai bagian dari tugas rutin
mereka. ( Rom. 13:1-7; 1 Pet. 2:13-14). Disebutkan bahwa pajak dipungut
pada barang-barang dagangan dan orang asing (Mat. 17:25); pajak tahunan pada
bangunan (Luk. 20:22; 23:2); pajak untuk mendapat hak memilih (Mat. 17:25;
22:17; Mrk. 12:14); dan pajak Bait Allah (uang upeti, 2 dirham = ½ syikal, Mat.
17:24-27 bnd. Kel. 30:13).
Pada masa Yesus, pajak dikumpulkan di Yudea atas perintah kaisar Agustus. Itulah waktu pertama kali Yudea dikenakan pajak, yaitu pada waktu Kirenius menjadi wali negeri (Lukas 2:1-5). Perhitungan penduduk untuk membayar pajak, dilakukan pada tempat kelahiran suku dan keluarga masing-masing. Kemudian Kristus menunjukkan kepada orang Farisi dan orang Herodian tentang perlunya membayar pajak (Mat. 22:15-22; Mrk. 12:13-17), namun justeru Yesus difitnah melarang orang membayar pajak (Luk. 23:2). Dalam suratnya kepada jemaat di Roma (Roma 13:6-7), Paulus mengatakan agar semua orang kudus dinasihatkan supaya membayar pajak (Colin Brown, 1979:757-758).
Pada masa Yesus, pajak dikumpulkan di Yudea atas perintah kaisar Agustus. Itulah waktu pertama kali Yudea dikenakan pajak, yaitu pada waktu Kirenius menjadi wali negeri (Lukas 2:1-5). Perhitungan penduduk untuk membayar pajak, dilakukan pada tempat kelahiran suku dan keluarga masing-masing. Kemudian Kristus menunjukkan kepada orang Farisi dan orang Herodian tentang perlunya membayar pajak (Mat. 22:15-22; Mrk. 12:13-17), namun justeru Yesus difitnah melarang orang membayar pajak (Luk. 23:2). Dalam suratnya kepada jemaat di Roma (Roma 13:6-7), Paulus mengatakan agar semua orang kudus dinasihatkan supaya membayar pajak (Colin Brown, 1979:757-758).
2.4.1. Kewajiban
Membayar Pajak
Tuhan Yesus sebagai Anak Manusia telah memberikan diri dan hidup-Nya sebagai
teladan dan bagian hidup murid-murid-Nya. Karena Ia akan mengalami penderitaan
sebagai manusia yang lemah, tak berdaya, dapat merasakan sakit, dan akan
berhadapan dengan maut atau kematian (Matius 17:24-27). Bahkan Ia memberikan
nyawa-Nya demi keselamatan umat manusia. Hanya Dialah Guru Agung sepanjang
sejarah manusia. Sebagai orang
Yahudi yang setia, Tuhan Yesus pun memberikan teladan dalam membayar pajak
untuk Bait Allah. Kewajiban membayar pajak sudah ditetapkan sejak zaman Musa
(Keluaran 30:13), untuk perbekalan rumah Tuhan. Analogi kewajiban orang asing
membayar pajak bagi pemerintahan Roma dipakai Yesus untuk menunjukkan bahwa
Anak Allah seharusnya tidak berkewajiban membayar pajak Bait Allah, demikian
pula Petrus.
Namun Tuhan
Yesus mengajarkan sekaligus memberikan teladan, bagaimana Ia pun tetap
melakukan kewajiban ini. Setiap orang harus membayar dua (2) dirham perorang,
tetapi mata uang yang beredar adalah empat (4) dirham, maka mereka harus
membayar empat dirham untuk 2 orang. Kemudian Yesus menyuruh Petrus untuk
memancing dan membuka mulut ikan yang pertama kali ditangkapnya, maka ia akan
menemukan mata uang 4 dirham di dalam mulutnya. Dengan uang itulah Yesus dan
Petrus membayar pajak.
Melalui sikap
yang sederhana ini, Yesus menunjukkan keteladanan-Nya sebagai Guru Agung dan
menyatakan keallahan-Nya sekaligus kerendahan hati-Nya, untuk memenuhi
kewajiban keagamaan, yaitu dengan membayar pajak (Matius 17:27).
2.4.2. Kepatuhan kepada
Pemerintah
Di dalam Roma 13:1-7, dijelaskan dengan mendalam mengenai pemerintah dan sikap
umat Kristen terhadapnya. Pemerintah itu berasal dari Allah, ditetapkan oleh
Allah sebagai hamba Allah untuk kebaikan umat Tuhan. Pemerintah dipandang
sebagai “pelayan-pelayan” Allah (Roma 13:6). Oleh sebab itu, orang Kristen
dituntut untuk mematuhi pemerintah yang berkuasa, tidak melawan (Roma 13:1-2).
Sebelumnya
Tuhan Yesus juga pernah mengatakan:”Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib
kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada
Allah” (Matius 22:21). Hal ini tentu saja bukan berarti bahwa umat Kristen itu
dilarang untuk bersikap kritis terhadap pemerintah. Ketaatan yang dituntut
bukanlah ketaatan yang membabi buta. Praktek-praktek ketidakadilan, korupsi,
penyimpangan pemungutan pajak, pelanggaran hak azasi manusia, tentulah sangat
ditentang. Umat Kristen dituntut untuk memerangi ketidakadilan dan berbagai
pelanggaran hukum oleh siapapun juga. Kekristenan juga dituntut untuk teguh dan
tidak kompromi dalam hal-hal yang prinsipil. Banyak di antara para rasul yang
harus masuk penjara, bahkan dibunuh oleh penguasa karena mereka lebih taat
kepada Allah daripada manusia (Kisah Para Rasul 4:19).
Namun demikian, umat Kristen tidak pernah dianjurkan untuk mengambil tindakan
melalui jalan kekerasan, melainkan pertama yang harus dilakukan adalah berdoa
meminta supaya Tuhan menegakkan kebenaran dan keadilan (Habakuk 1:2-4; Daniel
3:18).
Sikap yang taat
dan hormat kepada pemerintah, tetapi juga kritis dan bertanggung jawab ini,
tentunya merupakan faktor penting dalam pembangunan masyarakat yang adil,
makmur dan sejahtera. Hal ini akan membantu pemerintah dalam mewujudkan
masyarakat sadar dan peduli pajak.
2.4.3. Orang
Kristen Wajib Membayar Pajak
Melalui ayat-ayat firman Tuhan
di atas, sangat jelas bahwa Allah menghendaki supaya umat Kristen juga berperan
aktif dalam membayar pajak sebagaimana yang ditekankan oleh firman Tuhan.
Sehingga tidak ada alasan untuk orang Kristen tidak membayar pajak. Ujian
kesetiaan dan ketaatan kita kepada Tuhan harus dapat diwujudkan dalam ketaatan
kita kepada pemerintah dengan taat membayar pajak.
Kepatuhan ini
ditunjukkan pula dalam bentuk kesetiaan umat Kristen untuk membayar pajak,
sebagaimana tertulis dalam firman Tuhan:
Bayarlah
kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak
menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut
kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang
berhak menerima hormat (Roma 13:7).
3. Kesimpulan
dan Saran
3.1. Kesimpulan
3.1. Kesimpulan
Pajak adalah suatu kewajiban yang harus dibayar kepada pemerintah berdasarkan
peraturan atau undang-undang, oleh pribadi maupun kelompok, karena sudah
merupakan ketetapan yang telah diperintahkan oleh Allah sendiri sejak zaman
Musa (Keluaran 30:13).
Peraturan
tersebut secara terus-menerus ditaati dengan setia oleh umat Tuhan, sampai pada
masa Perjanjian Baru, di mana Yesus sendiri memberikan teladan dengan membayar
pajak. Melalui sikap-Nya yang sederhana, Yesus menunjukkan keteladan-Nya
sebagai Guru Agung dan menyatakan keallahan-Nya sekaligus kerendahan hati-Nya,
untuk memenuhi kewajiban keagamaan, yaitu dengan membayar pajak (Matius 17:27).
Karena itu, tidak ada alasan bagi umat Kristen untuk melanggar pajak, apalagi
tidak membayar pajak. Sebab Allah sendiri yang telah menetapkan bagi umat-Nya
suatu kewajiban untuk membayar pajak.
Kesetiaan membayar pajak juga ditunjukkan dengan jalan kepatuhan umat Kristen
kepada pemerintah. Dengan melihat bahwa pemerintah itu berasal dari Allah,
ditetapkan oleh Allah sebagai hamba Allah untuk kebaikan umat Tuhan. Pemerintah
dipandang sebagai “pelayan-pelayan” Allah (Roma 13:6). Sebab itu, orang Kristen
dituntut untuk mematuhi pemerintah yang berkuasa, tidak melawan dalam bentuk pembayaran
pajak (Roma 13:1-7).
Melalui sikap yang taat dan hormat kepada pemerintah, tetapi juga kritis dan
bertanggung jawab ini, tentunya merupakan faktor yang sangat penting dalam
usaha pemerintah untuk mewujudkan harapan, masyarakat sadar dan peduli pajak,
guna memenuhi kebutuhan pemerintahan dan pembangunan yang harus terus meningkat
dalam rangka pembangunan masyarakat adil, makmur dan sejahtera, di mana
penerimaan pajak pun dituntut untuk terus meningkat.
3.2.Saran
Berdasarkan
informasi dan analisa data dari pembahasan di atas, maka dapatlah diberikan
saran-saran sebagai berikut:
1. Mengingat status umat Kristiani sebagai orang percaya, yang harus menjadi garam
dan terang di tengah-tengah dunia ini, sudah tentu akan menjadi batu sandungan
dan merusak kesaksian Kristen, apabila ada umat Kristiani yang melanggar pajak
atau tidak membayar pajak.
2. Sebagai orang percaya harus menjadi warga negara yang baik sesuai dengan
prinsip firman Tuhan untuk hidup taat dan patuh kepada pemerintah dalam wujud
pembayaran pajak.
3. Perlunya peran serta para rohaniawan, pemimpin gereja untuk mengingatkan dan
mendorong umat Tuhan melalui khotbah, ceramah, seminar, agar menjadi masyarakat
Kristiani yang sadar dan peduli pajak.
4. Perlunya buku-buku atau literatur-literatur pajak dalam sorotan Kristen, untuk
menambah informasi dan wawasan umat Kristiani secara benar tentang pajak.
Daftar Pustaka:
Alkitab, 2002,
Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia
Brown, Colin
(ed.), 1979, The New International Dictionary of New Testament
Theology, Vol.
3, Grand Rapids , Michigan : Zondervan Publishing House
Boediono, B.,
1996, Perpajakan Indonesia, jilid I, Jakarta : Kawula Indonesia
Brotodiharjo, R.
Santoso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung : PT. Eresco
Mardiasmo,
1997, Perpajakan,, Yogyakarta : Yayasan Andi
Martin, William
C., 1964, The Layman’s Bible Encyclopedia, Nashville , Tennessee : The
Southwestern Company
Surat Kabar:
Kompas, 1 April
2000
Kompas, 4
Oktober 2000
Kompas, 13
Oktober 2004
*(Tulisan ini masuk sepuluh besar plihan terbaik lomba karya tulis ilmiah tentang
Pajak menurut teologi Kristen, dan telah dibukukan bersama tulisan lainnya oleh Ditjen Pajak tahun 2004).
No comments:
Post a Comment