Sunday, September 1, 2013

Pajak Menurut Teologi Kristen*


1.   PENDAHULUAN 

           Pajak merupakan sumber devisa negara yang paling vital, karena lebih dari 75% pembiayaan negara termasuk pembangunan berasal dari pajak melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
           Memang jika dilihat dari sisi ekonomi, penerimaan dari sektor pajak merupakan penerimaan negara yang paling potensial. Karena, melalui pajak pemerintah dapat membiayai sarana dan prasarana publik di seluruh sektor kehidupan, seperti sarana transportasi, air, listrik, pendidikan, kesehatan, keamanan, komunikasi, sosial, pertahanan dan berbagai fasilitas lainnya yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan dan pembangunan yang harus terus meningkat dalam rangka pembangunan masyarakat adil, makmur dan sejahtera, maka itu penerimaan pajak pun dituntut untuk terus meningkat.
            Namun, dari tahun ke tahun penerimaan pajak tidak pernah maksimal. Hal itu disebabkan adanya upaya dari wajib pajak untuk melakukan usaha menghindarkan diri dari pembayaran pajak, baik secara legal maupun illegal. Hal tersebut dapat dilihat pada data yang pernah dimuat oleh surat kabar Kompas, antara lain:
Sejak tahun 1995 sampai Maret 2000, total tunggakan pajak kumulatif yang masih tercatat di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Depkeu mencapai Rp 14 triyun. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat (Kompas, 1 April 2000).
Target Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2001 untuk meningkatkan penerimaan dari pajak dinilai akan sangat sulit dicapai. Hal itu disebabkan pertumbuhan ekonomi masih seret, padahal pertumbuhan adalah sumber dari penerimaan pajak (Kompas, 4 Oktober 2000).
Potensi kehilangan pajak yang terjadi selama kurun 2002-2004 akibat adanya aturan perundang-undangan perpajakan yang tumpang tindih dan minimnya akses Direktorat Pajak terhadap data-data kekayaan wajib pajak di Indonesia mencapai Rp 676,5 triliun.  Bahkan saat ini terdapat sekitar 40.000 warga negara Indonesia yang bertransaksi di pasar modal yang ada di Amerika Serikat dan tidak tersentuh oleh pungutan pajak di dalam negeri (Kompas, 13 Oktober 2004).
          Berdasarkan data-data di atas, menunjukkan bahwa harapan pemerintah Indonesia untuk segera mewujudkan masyarakat sadar dan peduli pajak, masih cukup panjang. Walaupun demikian, pemerintah akan terus berupaya bersama dengan elemen-elemen masyarakat lainnya untuk terus mewujudkan harapan tersebut.
          Masyarakat Kristiani Indonesia sebagai bagian dari wajib pajak, juga memiliki tanggung jawab yang sama dengan wajib pajak lainnya dalam pembayaran pajak. Ternyata tidak sedikit dari mereka yang menghindarkan diri dari pembayaran pajak. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: kurangnya informasi atau sosialisasi perpajakan di Indonesia , khususnya di kalangan umat Kristiani dan kurangnya peranan pemimpin-pemimpin gereja dalam memasyarakatkan pajak. Untuk itu sangat dibutuhkan landasan pemikiran dan keimanan Kristiani demi suksesnya pembayaran pajak tersebut.
           Karya tulis ini lebih lanjut akan memberikan informasi secara umum tentang perpajakan dan bagaimana pandangan Alkitab terhadapnya. Harapan yang diinginkan adalah semua masyarakat Kristiani Indonesia dapat memiliki pemahaman yang alkitabiah tentang pajak dan manfaatnya serta dapat menjadi masyarakat sadar dan peduli pajak. 

2.      PEMBAHASAN
2.1.   Pengertian Pajak

            Definisi atau pengertian pajak menurut R. Santoso Brotodiharjo, dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Pajak, berbunyi sebagai berikut:
Pajak adalah iuran wajib kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (1993:2).
Dari definisi tersebut di atas, dapat dilihat bahwa pajak memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.   Pembayaran iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak adalah pemerintah dari wajib pajak berupa uang.
2.   Dalam pemungutan pajak harus berdasarkan kekuatan peraturan atau undang-undang.
3.   Dapat dipaksa, yang hanya dapat dilakukan oleh pihak yang berwenang, yaitu pemerintah.
4.   Pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
5.   Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat luas (Boediono 1996:11-15).
             Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pajak adalah suatu kewajiban dari rakyat untuk menyerahkan sebagian dari harta kekayaannya ke kas negara, sesuai dengan keadaan dan kedudukan tertentu menurut peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, yang dapat dipaksakan, tanpa adanya jasa timbal balik dari pemerintah (kontraprestasi) dan digunakan untuk kesejahteraan umum. 

2.2.    Fungsi, Hambatan dan Syarat Pemungutan Pajak 

          Fungsi pajak terutama dilihat dari kepentingan negara yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 diberikan  hak  untuk  memungutnya,  ada 2 (dua) yaitu:
1. Fungsi budgetair, fungsi pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi mengatur (regulerend), fungsi pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah di bidang ekonomi, sosial dan budaya (1996:25). 
Kedua fungsi pajak tersebut di atas bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dan harus berjalan seimbang. Ketika salah satu fungsi diabaikan, maka akan terjadi persoalan, yaitu perlawanan-perlawanan dari wajib pajak. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Mardiasmo dalam buku “Perpajakan” tentang hambatan dalam pemungutan pajak yang dapat dikelompokkan menjadi:
1. Perlawanan pasif, masyarakat menjadi pasif membayar pajak disebabkan antara lain: perkembangan intelektual dan moral masyarakat, sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat, dan Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
2.  Perlawanan aktif, masyarakat secara aktif melawan melalui usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain: tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang dan tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar undang-undang, yaitu menggelapkan pajak (1997:9-10). 
Oleh karena itu, dalam pemungutan pajak ada syarat-syarat yang harus diperhatikan, agar tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1.  Syarat Keadilan, yaitu pemungutan pajak harus berdasarkan keadilan sesuai dengan tujuan hukum. Di antaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Bahkan memberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2. Syarat Yuridis, yaitu pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang. Hukum pajak harus dapat memberi jaminan hukum untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya.
3. Syarat Ekonomi, yaitu tidak mengganggu perekonomian. Pemungutan tidak boleh menghambat lancarnya produksi dan perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat dan jangan sampai merugikan kepentingan umum.
4. Syarat Finansial,  yaitu sesuai dengan fungsi budgeternya, biaya untuk pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pendapatannya (Mardiasmo 1997:2-3).
Jikalau keempat syarat tersebut di atas, diperhatikan dan dilaksanakan dengan baik, maka sedini mungkin pemerintah telah melakukan pencegahan yang sangat berarti bagi masalah-masalah yang dapat timbul dalam perpajakan. Dan sudah tentu keberhasilanlah yang akan dicapai.   

2.3.    Pengelompokan Pajak 

Pengelompokan pajak dapat dilihat dengan tinjauan dari segi:
1.  Menurut golongannya:
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain (1997:6). 
2.  Menurut Sifatnya:
a.  Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
b. Pajak obyektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan diri wajib pajak (1997:6) 
3.  Menurut lembaga pemungutnya
a.  Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
b.  Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah (1997:6-7).

Dengan memahami pengelompokan pajak ini, wajib pajak dapat lebih mengenal jenis-jenis pajak menurut golongannya, sifatnya, serta menurut lembaga pemungutnya. Sehingga akhirnya, wajib pajak lebih mengerti pajak yang sedang dijalaninya, dan dapat mengetahui persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pajak. 

2.4.     Pandangan Alkitab Tentang Pajak 

        Istilah “pajak” pertama kali disebutkan dalam Alkitab, di Keluaran 30:11-16, di mana setiap orang Israel yang telah berumur 20 tahun ke atas, haruslah membayar pajak pada setiap tahun sebesar setengah syikal, untuk persembahan khusus bagi Tuhan. Peraturan undang-undang ini dengan setia ditaati oleh banyak generasi (2 Taw. 24:6; Mat. 17:24).
Kemudian ketika bangsa Israel memintah perubahan dari sistem hakim-hakim menjadi kerajaan, yang dipimpin oleh seorang raja, nabi Samuel memperingatkan mereka (1 Sam. 8:10-18), untuk membayar pajak yang ditujukan bagi pemerintah (1 Raja 4:7; 9:15; 12:4).
          Pada zaman raja Daud dan Saul, pemungutan pajak didasarkan pada kesukarelaan orang-orang. Tetapi sejak raja Salomo yang mengeluarkan biaya besar untuk pengeluaran istana dan pembangunan yang megah itu, maka ia menuntut pajak secara teratur. Daerah kerajaan dibaginya menjadi 12 daerah. Setiap bulan daerah-daerah itu diwajibkan menyerahkan pajak (dalam bentuk bahan). Nanti setelah meninggalnya Salomo (1Raj. 12:3-4), barulah timbul keluhan yang menunjukkan bahwa sistem tersebut tidak biasa dilakukan. Hilangnya kebebasan politik di kemudian hari, akhirnya mengakibatkan adanya wajib upeti dan pajak yang teratur (Ezr. 4:13-20). Orang-orang Persia mengambil cukai pajak per kepala dan pajak tanah  (William Martin 1964:821).
        Di dalam Perjanjian Baru, pada periode Romawi,  pembayaran pajak dikumpulkan oleh pegawai-pegawai kerajaan sebagai bagian dari tugas rutin mereka. ( Rom. 13:1-7; 1 Pet. 2:13-14). Disebutkan bahwa pajak dipungut pada barang-barang dagangan dan orang asing (Mat. 17:25); pajak tahunan pada bangunan (Luk. 20:22; 23:2); pajak untuk mendapat hak memilih (Mat. 17:25; 22:17; Mrk. 12:14); dan pajak Bait Allah (uang upeti, 2 dirham = ½ syikal, Mat. 17:24-27 bnd. Kel. 30:13).
           Pada masa Yesus, pajak dikumpulkan di Yudea atas perintah kaisar Agustus. Itulah waktu pertama kali Yudea dikenakan pajak, yaitu pada waktu Kirenius menjadi wali negeri (Lukas 2:1-5). Perhitungan penduduk untuk membayar pajak, dilakukan pada tempat kelahiran suku dan keluarga masing-masing. Kemudian Kristus menunjukkan kepada orang Farisi dan orang Herodian tentang perlunya membayar pajak (Mat. 22:15-22; Mrk. 12:13-17), namun justeru Yesus difitnah melarang orang membayar pajak (Luk. 23:2). Dalam suratnya kepada jemaat di Roma (Roma 13:6-7), Paulus mengatakan agar semua orang kudus dinasihatkan supaya membayar pajak (Colin Brown, 1979:757-758). 

2.4.1.   Kewajiban Membayar Pajak 

           Tuhan Yesus sebagai Anak Manusia telah memberikan diri dan hidup-Nya sebagai teladan dan bagian hidup murid-murid-Nya. Karena Ia akan mengalami penderitaan sebagai manusia yang lemah, tak berdaya, dapat merasakan sakit, dan akan berhadapan dengan maut atau kematian (Matius 17:24-27). Bahkan Ia memberikan nyawa-Nya demi keselamatan umat manusia. Hanya Dialah Guru Agung sepanjang sejarah manusia. Sebagai orang Yahudi yang setia, Tuhan Yesus pun memberikan teladan dalam membayar pajak untuk Bait Allah. Kewajiban membayar pajak sudah ditetapkan sejak zaman Musa (Keluaran 30:13), untuk perbekalan rumah Tuhan. Analogi kewajiban orang asing membayar pajak bagi pemerintahan Roma dipakai Yesus untuk menunjukkan bahwa Anak Allah seharusnya tidak berkewajiban membayar pajak Bait Allah, demikian pula Petrus.
Namun Tuhan Yesus mengajarkan sekaligus memberikan teladan, bagaimana Ia pun tetap melakukan kewajiban ini. Setiap orang harus membayar dua (2) dirham perorang, tetapi mata uang yang beredar adalah empat (4) dirham, maka mereka harus membayar empat dirham untuk 2 orang. Kemudian Yesus menyuruh Petrus untuk memancing dan membuka mulut ikan yang pertama kali ditangkapnya, maka ia akan menemukan mata uang 4 dirham di dalam mulutnya. Dengan uang itulah Yesus dan Petrus membayar pajak.
Melalui sikap yang sederhana ini, Yesus menunjukkan keteladanan-Nya sebagai Guru Agung dan menyatakan keallahan-Nya sekaligus kerendahan hati-Nya, untuk memenuhi kewajiban keagamaan, yaitu dengan membayar pajak (Matius 17:27). 

2.4.2.      Kepatuhan kepada Pemerintah
            Di dalam Roma 13:1-7, dijelaskan dengan mendalam mengenai pemerintah dan sikap umat Kristen terhadapnya. Pemerintah itu berasal dari Allah, ditetapkan oleh Allah sebagai hamba Allah untuk kebaikan umat Tuhan. Pemerintah dipandang sebagai “pelayan-pelayan” Allah (Roma 13:6). Oleh sebab itu, orang Kristen dituntut untuk mematuhi pemerintah yang berkuasa, tidak melawan (Roma 13:1-2).  
            Sebelumnya Tuhan Yesus juga pernah mengatakan:”Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Matius 22:21). Hal ini tentu saja bukan berarti bahwa umat Kristen itu dilarang untuk bersikap kritis terhadap pemerintah. Ketaatan yang dituntut bukanlah ketaatan yang membabi buta. Praktek-praktek ketidakadilan, korupsi, penyimpangan pemungutan pajak, pelanggaran hak azasi manusia, tentulah sangat ditentang. Umat Kristen dituntut untuk memerangi ketidakadilan dan berbagai pelanggaran hukum oleh siapapun juga. Kekristenan juga dituntut untuk teguh dan tidak kompromi dalam hal-hal yang prinsipil. Banyak di antara para rasul yang harus masuk penjara, bahkan dibunuh oleh penguasa karena mereka lebih taat kepada Allah daripada manusia (Kisah Para Rasul 4:19).
            Namun demikian, umat Kristen tidak pernah dianjurkan untuk mengambil tindakan melalui jalan kekerasan, melainkan pertama yang harus dilakukan adalah berdoa meminta supaya Tuhan menegakkan kebenaran dan keadilan (Habakuk 1:2-4; Daniel 3:18).
Sikap yang taat dan hormat kepada pemerintah, tetapi juga kritis dan bertanggung jawab ini, tentunya merupakan faktor penting dalam pembangunan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Hal ini akan membantu pemerintah dalam mewujudkan masyarakat sadar dan peduli pajak.   

2.4.3.    Orang Kristen Wajib Membayar Pajak

            Melalui ayat-ayat firman Tuhan di atas, sangat jelas bahwa Allah menghendaki supaya umat Kristen juga berperan aktif dalam membayar pajak sebagaimana yang ditekankan oleh firman Tuhan. Sehingga tidak ada alasan untuk orang Kristen tidak membayar pajak. Ujian kesetiaan dan ketaatan kita kepada Tuhan harus dapat diwujudkan dalam ketaatan kita kepada pemerintah dengan taat membayar pajak.
            Kepatuhan ini ditunjukkan pula dalam bentuk kesetiaan umat Kristen untuk membayar pajak, sebagaimana tertulis dalam firman Tuhan: 
Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat (Roma 13:7).

3.      Kesimpulan dan Saran
3.1.    K
esimpulan 

          Pajak adalah suatu kewajiban yang harus dibayar kepada pemerintah berdasarkan peraturan atau undang-undang, oleh pribadi maupun kelompok, karena sudah merupakan ketetapan yang telah diperintahkan oleh Allah sendiri sejak zaman Musa (Keluaran 30:13).
Peraturan tersebut secara terus-menerus ditaati dengan setia oleh umat Tuhan, sampai pada masa Perjanjian Baru, di mana Yesus sendiri memberikan teladan dengan membayar pajak. Melalui sikap-Nya yang sederhana, Yesus menunjukkan keteladan-Nya sebagai Guru Agung dan menyatakan keallahan-Nya sekaligus kerendahan hati-Nya, untuk memenuhi kewajiban keagamaan, yaitu dengan membayar pajak (Matius 17:27). Karena itu, tidak ada alasan bagi umat Kristen untuk melanggar pajak, apalagi tidak membayar pajak. Sebab Allah sendiri yang telah menetapkan bagi umat-Nya suatu kewajiban untuk membayar pajak.
          Kesetiaan membayar pajak juga ditunjukkan dengan jalan kepatuhan umat Kristen kepada pemerintah. Dengan melihat bahwa pemerintah itu berasal dari Allah, ditetapkan oleh Allah sebagai hamba Allah untuk kebaikan umat Tuhan. Pemerintah dipandang sebagai “pelayan-pelayan” Allah (Roma 13:6). Sebab itu, orang Kristen dituntut untuk mematuhi pemerintah yang berkuasa, tidak melawan dalam bentuk pembayaran pajak (Roma 13:1-7).
          Melalui sikap yang taat dan hormat kepada pemerintah, tetapi juga kritis dan bertanggung jawab ini, tentunya merupakan faktor yang sangat penting dalam usaha pemerintah untuk mewujudkan harapan, masyarakat sadar dan peduli pajak, guna memenuhi kebutuhan pemerintahan dan pembangunan yang harus terus meningkat dalam rangka pembangunan masyarakat adil, makmur dan sejahtera, di mana penerimaan pajak pun dituntut untuk terus meningkat. 

3.2.Saran 

Berdasarkan informasi dan analisa data dari pembahasan di atas, maka dapatlah diberikan saran-saran sebagai berikut:
1.  Mengingat status umat Kristiani sebagai orang percaya, yang harus menjadi garam dan terang di tengah-tengah dunia ini, sudah tentu akan menjadi batu sandungan dan merusak kesaksian Kristen, apabila ada umat Kristiani yang melanggar pajak atau tidak membayar pajak.
2.  Sebagai orang percaya harus menjadi warga negara yang baik sesuai dengan prinsip firman Tuhan untuk hidup taat dan patuh kepada pemerintah dalam wujud pembayaran pajak.
3.  Perlunya peran serta para rohaniawan, pemimpin gereja untuk mengingatkan dan mendorong umat Tuhan melalui khotbah, ceramah, seminar, agar menjadi masyarakat Kristiani yang sadar dan peduli pajak.
4. Perlunya buku-buku atau literatur-literatur pajak dalam sorotan Kristen, untuk menambah informasi dan wawasan umat Kristiani secara benar tentang pajak.
 
Daftar   Pustaka:
 
Alkitab, 2002, Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia
Brown, Colin (ed.), 1979, The New International Dictionary of New Testament 
       Theology,  Vol. 3, Grand Rapids , Michigan : Zondervan Publishing House
Boediono, B., 1996, Perpajakan Indonesia, jilid I, Jakarta : Kawula Indonesia
Brotodiharjo, R. Santoso, 1993,  Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung : PT. Eresco
Mardiasmo, 1997,  Perpajakan,,  Yogyakarta : Yayasan Andi
Martin, William C., 1964, The Layman’s Bible Encyclopedia, Nashville , Tennessee : The
        Southwestern Company 

Surat Kabar: 

Kompas, 1 April 2000
Kompas, 4 Oktober 2000
Kompas, 13 Oktober 2004
*(Tulisan ini masuk sepuluh besar plihan terbaik lomba karya tulis ilmiah tentang Pajak menurut teologi Kristen, dan telah dibukukan bersama tulisan lainnya oleh Ditjen Pajak tahun 2004).

No comments:

Post a Comment